ALFIAN HELMI
BAJU KITA
BAJU KITA ; KONDISI JIWA DAN PERILAKU KITA
Oleh ALFIAN HELMI *)
Pada bulan-bulan terakhir ini warung belakang rumah terasa agak sepi. Hanya beberapa teman seperti Bagong, Dumpal, Kacung dan cak Nayip yang masih rutin nongkrong dan cangkrukan sampai larut malam.
Tentu, suasana seperti itu sangat terasa aneh bagi cak Nayip, karena memang tidak pernah ada perubahan apa-apa di warung itu. Baik menu, tempat dan cara penyajiannya pun tidak berubah.
Meskipun rasa aneh itu hanya disimpan dalam hati, namun malam itu cak Nayip tidak dapat menutupi rasa penasarannya;
“Kemana teman-teman yang lain Cung, koq tidak ke warung?” tanya cak Nayip sambil mendekat kearah Kacung.
“Lho apa cak Nayip lupa, sekarang ini
“Lantas apa hubungannya dengan teman-teman kita Cung, apakah ada yang berminat menjadi cagub, caleg dan cabup?” tanya cak Nayip lagi.
“Ya nggak lha, mana mungkin teman kita menjadi calon?” jawab Kacung.
“Teman-teman banyak yang menjadi team sukses cak! masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Membagikan stiker, pasang baliho, pasang bendera dan tidak ketinggalan membagikan kaos dan baju. Jadi memang benar-benar sibuk cak!” lanjut Kacung bersemangat.
“Oh… begitu, baguslah! aku kira sudah bosan nongkrong di warung” jawab cak Nayip santai.
“Lho koq bagus sih cak?” tanya Kacung merasa heran.
“Ya bagus tho, Itu ikhtiar, lumayan untuk menambah penghasilan. Itu rejeki Cung! itu berarti wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib, rejeki yang tidak disangka-sangka kedatangannya, he he he…”, lanjut cak Nayip sambil tertawa.
“Tapi aku kurang setuju cak dengan perilaku teman-teman kita itu. Setiap lima tahun koq kerjanya ganti-ganti partai, ganti-ganti dukungan, itu munafiq cak, munafiq!” tiba-tiba Bagong menyelah.
“Ya nggak boleh begitu Gong, itu syu’udzan,” sahut cak Nayip.
“Mereka belum tentu serius menjadi pendukung-pendukung koq, belum tentu gambar di kaos atau bajunya itu benar-benar representasi dari pilihan terakhirnya. Mereka sekedar mencari upah Gong, mendapatkan kaos atau baju, tidak lebih dari itu.
Baju kan tidak pernah memilih siapa yang mengenakan. Digunakan untuk maksud apa, apa agamanya dan siapa yang menjadi calon idola pemakainya. Itu tidak penting Gong, iya tho? lanjut cak Nayip serius.
“Sssttt… jangan bilang siapa-siapa ya, sebenarnya teman-teman kita itu hanya membantu orang-orang yang memang benar-benar “mencari baju” koq Gong,” cak Nayip menambahkan.
“Lho koq begitu, maksudmu bagaimana sih cak?” tanya Dumpal sambil menggaruk kepala.
“Teman-teman kita itu hanya mencari upah dan mencari baju yang sebulan dua bulan sudah lusuh, walaupun teman-teman menyadari bahwa dukung-mendukung yang dilakukan itu sama sekali tidak berpengaruh pada perubahan nasibnya.
Justru para calon-calon itu mencari “baju” lebih dari sekedar baju yang dikenakan di badan ini Dum! Baik baju kekayaan, baju jabatan, baju kekuasaan maupun baju-baju status sosial lain dengan berbagai macam atribut dan asesorisnya, yang sering dipercaya dapat mengangkat martabat seseorang di mata orang lain.” Jelas cak Nayip.
“Lalu, apakah tidak boleh mencari baju-baju kekayaan, jabatan atau kekuasaan yang menjadi impian hampir kebanyakan orang itu cak?” sahut Dumpal agak sedikit tegang.
“Aku nggak bilang seperti itu lho Dum!” bantah cak Nayip
“Agama kita tidak melarang memakai baju dengan warna dan model apa saja, asalkan sesuai dengan fungsi baju itu.
Termasuk baju dengan “merk sosial” apapun selama berfungsi sebagai “libastsu at-taqwa” (pakaian taqwa), dan dapat menambah kualitas hidup seseorang, adalah sah-sah saja.
Persoalan sesungguhnya bukan boleh atau tidak boleh Dum!, persoalannya adalah apakah kita mampu menempatkan “baju status sosial“ itu pada porsinya? atau jangan-jangan malah sebaliknya, justru kita semakin sombong dan jauh dari rahmat Allah.
Kamu ingat kisah orang yang bernama Sa’labah di jaman Rasulullah?“ Tanya cak Nayip.
“Sahabat Rasulullah bernama Sa’labah hanya memiliki satu-satunya baju. Yaitu baju yang ketika hendak shalat dipakai bergantian dengan istrinya. Namun, ketika suatu saat Allah berkenan memberi kesempatan sebagai orang kaya atas doa Rasulullah, dia lupa dengan bajunya. Awalnya hanya sering terlambat berjamaah ke masjid karena bergantian baju dengan istrinya. Tapi akhirnya sama sekali tidak pernah ke masjid. Bukan karena Sa’labah tidak mampu membeli baju, tapi karena perubahan baju “status sosial” itu yang membuat seorang Sa’labah menjadi lupa diri.
Disadari atau tidak, baju-baju status sosial itulah yang membuat seseorang “tampil beda” dan merasa paling hebat, sementara orang lain kadang-kadang dianggap remeh hanya karena tidak memiliki baju yang sama.”
“Ya ya ya … betul juga ya cak?” Dumpal manggut-manggut.
“Yang lebih parah lagi, kalau baju-baju itu dianggap segala-galanya. Maka tidak sedikit orang yang berbuat segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan keelokan bajunya. Bahkan pada akhirnya mereka kurang amanah, ingkar janji, dan terus menerus berbohong kepada yang pernah mendukung dengan sepenuh hati. Pokoknya mengecewakan Dum!” cak Nayip mencoba meyakinkan.
“Iya ya cak, padahal agama kita menyuruh agar memegang kuat amanah dari orang-orang yang menitipkan segala problematika kehidupannya untuk diperjuangkan,” komentar Dumpal.
“Betul Dum, seratus untuk Dumpal!” lanjut cak Nayip.
“Innallaha ya’murukum an tuaddul amaanaati ilaa ahlihaa, waidzaa hakamtum bainannaasa an tahkumuu bil ‘adl” sungguh Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
“Tentu masih segar dalam ingatan kita,” lanjut cak Nayip.
“Kasus tindak pidana korupsi oleh beberapa oknum pejabat yang menyebabkan kerugian negara milyaran rupiah, itu jelas-jelas termasuk tindakan orang-orang yang kurang amanah dalam menunaikan tugas dan sekaligus gagal memanfaatkan status sosialnya untuk kemaslahatan umat.
Tindakan kriminal, pelecehan seksual, sampai perbuatan asusila, juga merupakan potret kesombongan dari kehidupan sosial kita. Jika hal ini ditelusuri, sesungguhnya juga bermuara pada sikap berlebihan terhadap “baju” itu.
Mungkin mereka lupa, bahwa nabi pernah menyatakan; “Innallaha laa yandzuru ilaa ajsaamikum wala shawwaarikum walaakin yandzuru ilaa quluubikum wa a’maalikum”, sungguh Allah tidak menilai fisik dan atribut-atribut kemanusiaan seseorang, tetapi Allah menilai jiwa dan perilaku seseorang.”
“Ya ya ya…, Dumpal manggut-manggut lagi.
“Belum lagi kasus-kasus kekerasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang sejauh ini terjadi, itu merupakan bentuk lain dari fanatisme sempit terhadap baju-baju status sosial yang disikapi dengan kesombongan. Padahal sombong itu hanya milik Allah Dum, milik Allah! “al ’adzamatu izaarii, walkibriyaau radaaii, faman naara ‘annii fiihimaa, alqabtahu finnaar” kemegahan itu sarungKu, kesombongan adalah selendangKu, siapapun yang menarik salah satu dari keduanya, niscaya akan Aku lemparkan ke neraka.“ Tambah cak Nayip.
“Waduh… ngeri cak, ternyata semakin tinggi status sosial yang diraih, semakin besar tanggungjawab yang harus pikul.” kata Bagong.
“Ya iyalah, masak iya iya donk.“ sahut cak Nayip bercanda.
“Khilaf dan salah dalam menjalankan tugas itu memang bagian dari sifat manusia Gong, tapi bukan berarti boleh berbuat semaunya, berbuat tidak adil dan sewenang-wenang terhadap mereka yang tidak memiliki baju yang sama.
Sudah semestinya status sosial itu dipahami sebagai sebuah kenikmatan dan karunia dari Allah yang harus kita jaga dengan penuh amanah dan sekaligus menjadi cermin bersih kondisi jiwa dan perilaku kita.
Untuk itulah Rasulullah mengajarkan doa kepada kita; “Allahumma naqqinii minal khathaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minaddanas,” ya Allah bersihkanlah kesalahan-kesalahanku, sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran.
Artinya, puncak proses pembersihan kesalahan-kesalahan hidup manusia, harus berakhir pada kondisi bersih seperti pakaian putih. Ini juga berarti, apapun status sosial yang dikenakan dan dimiliki oleh manusia, jika tidak berpengaruh pada jiwa dan perubahan perilaku manusia menunju puncak ketertutupan “aurat perilaku-perilaku buruknya”, baik perilaku individu maupun perilaku sosialnya, manusia akan seperti “orang-orangan sawah”, tampak memakai baju tapi tidak berisi, hanya untuk menakut-nakuti.
“Hua ha ha… iso ae sampean cak!” teman-teman tertawa lebar
“Pepatah Arab menyatakan; “aqbil ‘ala nafsi wastakmil fadhaailaha, fa anta binnafsi laa biljism insaan”, hadapkan jiwamu dan sempurnakan keutamaannya, karena engkau disebut manusia bukan lantaran tubuhmu, tetapi lantaran jiwamu.
So, kecuali agama yang kita miliki dan kita yakini kebenaranya, milik manusia hanya sekedar “pakaian”. Berhasil tidaknya menghantarkan hidup manusia menuju kemuliaan, sangat tergantung pada pemakainya.”
“Sudahlah, aku pulang! Kita doakan semoga teman-teman yang mencari upah dan baju, serta mereka yang benar-benar “mencari baju” itu, senantiasa diridlai oleh Gusti Allah.” kata cak Nayip sambil berdiri.
“Lho, kopi belum dibayar cak!” sahut Dumpal
“Tolong dibayar Dum, utang sik, besuk aku ganti!”
“Tapi kalian harus ingat ya?” tambah cak Nayip sambil membalikkan badan.
“Sebenarnya dalam hati yang paling dalam, kadang-kadang kita merindukan kondisi “kembali” seperti anak-anak yang “yuuladu ‘ala fitri” tanpa embel-embel dan atribut-atribut sosial yang menjadikan manusia semakin sombong. Sekaligus memantapkan keyakinan; “Ya Allah, sungguh Engkau lebih menilai jiwa dan perilaku manusia daripada baju dan atribut-atribut kemanusiaan yang dibanggakan, sebab hakekat sang pemilik apapun di alam semesta ini hanyalah Engkau”.
Kalau tidak, aku kuatir rek, jangan-jangan seluruh baju kita dimasukkan kedalam surga, sementara kita tetap tinggal di neraka karena kehebatan menutupi jiwa dan perilaku-perilaku kita yang kotor, he he he…”
*) penulis adalah :
Staf Pengajar SMP – SMK Muhammadiyah Rogojampi – Banyuwangi
Koordinator Lembaga Seni dan Budaya PDM Banyuwangi
DUNIA BINATANG
Oleh : ALFIAN HELMI *)
Kang Su “anggota tetap” warung belakang rumah, tempat saya nongkrong dan cangkrukan, punya hobby nonton acara “Dunia Binatang” atau “Flora dan Fauna” yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Hobby kedua, setelah nonton, biasanya langsung dibawa ke warung untuk bahan obrolan dan “diskusi” kami sampai larut malam.
Menurut dia, disamping bisa menikmati kehidupan bermacam-macam binatang dengan berbagai karakter dan perangainya, acara itu juga sarat dengan ilmu pengetahuan.
“Jadi, nggak perlu repot-repot mengeluarkan uang banyak hanya untuk membeli buku tentang kehidupan binatang”, kata kang Su memulai obrolannya.
“Cukup hanya dengan melototi TV, dapat menikmati suguhan menarik dan seram, meskipun kadang-kadang cukup menegangkan.
“Singa yang sadis, membekuk dan merobek-robek mangsanya”, Kata kang Suk melanjutkan obrolannya.
“Buaya yang liar menerkam korbanya, elang sang pengintai mencengkeram buruannya, ular yang cerdik membelilit sasaranya, gajah, kuda, burung, anjing, babi, celeng termasuk monyet yang gaduh berebut makanan. Pokoknya tumplek blek disitu”.
“Koq tumben kang suka acara Dunia Binatang?”, tanya Kacung santai.
“Biasanya lebih suka ngurusi meubel tho kang?”
“Memang nggak boleh suka acara Dunia Binatang?” jawab kang Su dengan nada agak keras.
“Itu naluri Cung!” Nggak tua nggak muda, besar kecil, gemuk kurus, kaya miskin, pejabat atau rakyat, suka acara itu. Jangankan acara seperti itu, cerita-cerita fabelia yang dikemas dalam bentuk komik, majalah, koran dan flm kartun, banyak orang yang suka koq, iya tho?”, tandas kang Su meyakinkan.
“Alasan lain apa kang?” tanya Dayat.
“Alasan lain?, ya nggak ada, pokoknya senang, titik!, hua ha ha ha… he he he… “
“Hus…, tertawa koq nggak diatur!”.
“Ngopi dulu, baru tertawa sepuasnya”, sahut Andon mulai serius menyimak obrolan.
“Begini lho Cung”, tiba-tiba cak Nayip menyela.
Toto dan Suprit yang sejak tadi main catur, mulai terpancing ikut menyimak.
“Manusia itu memang akrab dengan kehidupan binatang”, lanjut cak Nayip.
“meskipun manusia mengenal jin dan malaikat, namun karena eksistensi kedua makhluk Allah itu ghaib, maka tidak salah kalau manusia merasa lebih akrab dan enjoy dengan kehidupan binatang”.
“Alasannya apa cak Nayip?”, tanya Kacung agak serius.
“Ini nggak pakai alasan Cung!, ini kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri” jawab cak Nayip sambil merapikan kopyahnya.
“Keakraban manusia bukan hanya karena binatang dibutuhkan untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan tenaganya, bahkan ketika kita mengumpat atau misuh saja, butuh nama-nama binatang, iya tho?, seperti anjing, celeng, babi dan sebagainya.
“masih mau contoh lagi?”
“Bukankah kita merasa kehabisan nama, ketika harus memberikan nama pada panganan atau kue-kue tertentu?. Karena bentuknya menyerupai salah satu bentuk fisik binatang, maka nggak ambil pusing, lalu kita sebut; perut ayam, telor mata sapi termasuk konthol kambing”.
“Ha ha ha ….”, Spontan teman-teman di warung mbak Koma terbahak-bahak mendengar ulasan cak Nayip.
“Masih ada lagi nggak cak?” sela Bagong sambil nyruput kopi hangat.
“Masih, masih Ngog!, ini memang belum selesai Ngog!”, sahut cak Nayip sesekali mengusap bekas kacang goreng di mulutnya.
“kita sering mengibaratkan perilaku manusia dengan binatang , iya nggak?”
“perilaku seks diluar nikah kita namakan kumpul kebo, pelaku riba kita sebut lintah darat, orang yang pura-pura malu tapi mau, kita bilang malu-malu kucing, orang garang tapi berpenampilan kalem kita juluki srigala berbulu domba, koruptor disebut tikus kantor, penglihatan agak kurang normal kita bilang rabun ayam, pelaku kemunafikan kita sebut bunglon, pelacur kita namakan kupu-kupu malam, laki-laki penipu, perayu kita sebut buaya darat atau kucing garong, orang yang hobby membaca kita sebut kutu buku”.
“Lalu, issue, gossip, kita sebut kabar burung, memfitnah kita sebut adu domba, orang yang kerjanya musiman atau anut grubyug, kita bilang hangat-hangat tahi ayam, mencari-cari kesalahan orang lain kita sebut kambing hitam, dan jangan lupa, titik hitam yang nempel di pipi, badan atau pakaian, kita sebut tahi lalat”.
“Ini belum seluruhnya lho Ngog!”
“Ya ya ya”, Bagong mengangguk-anggukkan kepala.
“Ada lagi, Tenaga kuda, akal bulus, bahkan ketika kaki gringgingen, kita mengatakan kesemutan”.
“Nah… ini, ini suatu bukti!, bahwa manusia memang akrab dengan dunia binatang.
Wajar tho, kalau rata-rata kita suka acara Dunia Binatang?”.
“O ya cak, bisa ditinjau dari aspek lain nggak obrolan kita malam ini?”, Tanya Dumpal serius.
“O… bisa, maksudmu sisi religiusnya kan?
“Ya betul, betul!”, tegas Dumpal setuju.
“Kamu tahu nggak, Allah berkenan menempatkan nama-nama binatang pada sebagian surat dalam Al-qur’an?”.
“Coba kamu perhatikan!, surat al-Baqarah itu artinya sapi betina, al-An’am artinya binatang ternak, an-Nahl artinya lebah, An-Naml artinya semut, al-‘Ankabut artinya laba-laba, al-‘Adiyat artinya kuda perang, dan al-Fil itu artinya gajah”.
“Lantas, apa maksud Tuhan dengan nama-nama binatang itu?” Dumpal melanjutkan pertanyaan.
“Wallahu a’lam, hanya Allah Yang Maha Tahu”, jawab cak Nayip dengan sedikit mengangkat bahu.
“Kita hanya yakin pasti ada hikmah dan maksud-masud tertentu dibalik seluruh ciptaan Allah. Hanya kita belum mampu dengan sungguh-sungguh memahami keagunganNya.
“Cek cek cek…, kalau begitu binatang itu hebat ya cak?” Kacung berdecak kagum dan mencoba mengambil kesimpulan.
“Tunggu dulu Cung! Nggak bisa begitu, hebat seperti apa?” Cak Nayip mencoba membantah.
“Manusia itu Ahsani takwim, sebagus-bagus makhluk ciptaan Allah. Nama-nama surat dalam Al-qur’an yang dihubungkan dengan manusia dan kemanusiaan juga banyak, bahkan manusia merupakan subyek sekaligus obyek dari “skenario” penciptaan alam semesta ini. Adapun binatang dan makhluk Allah yang lain dipersembahkan untuk sang khalifah bernama manusia itu”.
“Ini belum seberapa lho Cung!” Tambah cak Nayip melanjutkan ulasannya.
“Manusia dikaruniai Allah akal sehat dan hati nurani, supaya dengan itu manusia bisa beradab dan berbudaya. Melahirkan karya-karya besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tidak mungkin dilakukan oleh binatang dimana pun”.
“Tapi, apakah ada jaminan cak, bahwa dengan akal dan hati nurani, manusia lebih baik daripada binatang?” Kacung terus bertanya.
“Yah…, itu tergantung manusia Cung”, kata cak Nayip santai.
“Sebab kenyataannya, Allah sering menyindir manusia yang kehilangan hati nurani dan akal sehatnya dengan perumpamaan sifat dan perangai binatang”.
“Wah… pusing aku cak!, teman-teman mulai mengeluh.
“Allah menyindir manusia yang mengambil pegangan hidup kepada selain Allah; Kamatsalil “ankabuuti, ittakhadzat baitan, seperti laba-laba yang membuat rumah, rapuh dan gampang hancur”.
“Allah juga telah menyediakan pedoman hidup, menunjukkan jalan lurus dan jalan kebenaran, tapi manusia adakalanya masa bodoh, nggak mau tahu. Allah menggambarkan manusia seperti ini; Kamatsalil khimari yahmilu asfara, seperti khimar (kuda kecil) yang memanggul kitab, mondar-mandir nggak jelas tujuannya”.
“Wih…, betul-betul Dunia Binatang ya cak?” Sela Roni sambil mengelus-elus janggutnya.
“Lebih hebat lagi!”, kata cak Nayip menambahkan.
“Allah membuat perumpamaan terhadap manusia yang tidak pernah berubah, sekalipun sering ditegur; Famatsaluhu kamatsalil kalbi, in tahmil alaihi yalhats, au tatrukhu yalhats” seperti anjing, dihalau menjulurkan lidah, dibiarkan juga menjulurkan lidah”.
“Puncaknya, ketika manusia tidak menggunakan akal sehat dan hati nurani, Allah mencela; kal an’am, bal hum adhallu” bagaikan binatang, bahkan lebih sesat”!.
“Wah… tambah pusing aku cak!, teman-teman mengeluh lagi.
“Nah… kalau acara TV seperti Sergap, Sidik, Kupas Tuntas , Buser, TKP itu bagaimana cak?”, tanya Bowo sambil menggeser tempat duduk.
“Ya itu yang sejak tadi aku maksud Wo!”, jawab cak nayip sambil membuang asap rokok dari mulutnya.
“Itu contoh konkrit perilaku manusia tanpa hati nurani dan akal sehat yang sering disinggung-singgung al-qur’an itu Wo!”
“Coba bayangkan!, seorang suami tega membunuh istri dalam keadaan mengandung, dua insan pelaku kumpul kebo mati di dalam mobil, anak membunuh bapak, perempuan mati terkapar di kamar hotel, kakek menggagahi cucu, nenek membunuh cucu dengan tubuh terpotong-potong, perempuan membuang anak yang masih orok, perampokan, pencurian, penipuan, pembantaian, perang antar suku, perang antar kampung, bentrok buruh dan majikan, demonstrasi berakhir kerusuhan, bapak menggauli anak sampai mengandung, begitu seterusnya tiada henti ”.
“Waah…, pokoknya nggak mungkin disebutkan seluruhnya Wo!, padahal “sebuas buas harimau tidak mungkin makan anak sendiri, tapi manusia mampu melakukan perbuatan seperti itu”.
“Na’udzu billahi min dzalik…”, kami berlindung kepada Allah dari perbuatan itu”, tiba-tiba bergemuruh suara teman-teman seperti koor.
“Kalau misalnya Usul bagaimana cak?” Tanya Farid.
“Usul bagaimana Dir?” cak Nayip sedikit penasaran.
“Diusulkan supaya acara TV seperti Sergap, Sidik, Kupas Tuntas, Buser, TKP dan lain-lain itu, diganti namanya dengan “Dunia Binatang Part Two”.
“Waduh kalau begitu, usulkan pada departemen Hukum dan HAM saja Dir! atau pada departemen terkait saja, pokoknya jangan saya, itu bukan maqam saya Dir!”
“Yang penting bagi kita adalah mawas diri, tetap istiqamah menjaga nurani dan akal sehat, supaya tidak terjatuh pada “Asfala saafiliin” martabat yang paling rendah”.
“Hey…, tutup, tutup, tutup!, teriak mbak Koma sambil mengemasi barang.
“sudah, sudah ngantuk Coy, pulang yuk, pulang!”. Cak Nayip mengakhiri obrolannya.
Kang Su, cak Nayip, Bagong, Kacung, Dayat, Farid, Toto, Suprit, Dumpal dan Bowo beranjak dari kursi.
Saya, yang sejak pertama ngobrol sudah gatal kepingin nyanyi, mengakhiri dengan satu lagu Iwan Fals;
“Kota adalah rimba belantara buas
dari yang terbuas…………………
Rogojampi, 30 Maret 2008
*) Penulis : ALFIAN HELMI, SH.
- Koordinator Lembaga Seni dan Budaya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyuwangi
- Wakil ketua PCM Muhammadiyah Rogojampi
- Staf Pengajar SMP –SMK Muhammadiyah Rogojampi
SMK MUHAMMADIYAH 6 ROGOJAMPI
Ass.
Sugeng rawuh Wonten Ing Blog Kawulo.
Selamat atas Berdirinya jurusan baru Di SMK MUHAMMADIYAH 6 ROGOJAMPI
yaitu Jurusan TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN..
Buat Bapak Rahmat Erlambang trimakasih atas kesetiaan anda kepada Sekolah Kita yang kami cintai.
buat Bapak Alief Catur Wibowo Yang sudah mengajar anak-anak TKJ dengan sepenuh hati..
ada saran dari saya Jangan terlalu banyak makan n tolong di usahakan DIET. trimakasih kepada Bapak kepala Inonu Thamia selaku kepala Jurusan TKJ.
trima kasih atas partisipasinya saya ucapkan banyak trima kasih kepada bapak/ibu dewan guru semua
buat Anak-Anak DRUM BAND "TARUNA MELATI" Tetep harus rajin agar tetap Mempertahankan Gelar danReputasinya....
wasalam
AGUNG WILIS