BAJU KITA ; KONDISI JIWA DAN PERILAKU KITA
Oleh ALFIAN HELMI *)
Pada bulan-bulan terakhir ini warung belakang rumah terasa agak sepi. Hanya beberapa teman seperti Bagong, Dumpal, Kacung dan cak Nayip yang masih rutin nongkrong dan cangkrukan sampai larut malam.
Tentu, suasana seperti itu sangat terasa aneh bagi cak Nayip, karena memang tidak pernah ada perubahan apa-apa di warung itu. Baik menu, tempat dan cara penyajiannya pun tidak berubah.
Meskipun rasa aneh itu hanya disimpan dalam hati, namun malam itu cak Nayip tidak dapat menutupi rasa penasarannya;
“Kemana teman-teman yang lain Cung, koq tidak ke warung?” tanya cak Nayip sambil mendekat kearah Kacung.
“Lho apa cak Nayip lupa, sekarang ini
“Lantas apa hubungannya dengan teman-teman kita Cung, apakah ada yang berminat menjadi cagub, caleg dan cabup?” tanya cak Nayip lagi.
“Ya nggak lha, mana mungkin teman kita menjadi calon?” jawab Kacung.
“Teman-teman banyak yang menjadi team sukses cak! masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Membagikan stiker, pasang baliho, pasang bendera dan tidak ketinggalan membagikan kaos dan baju. Jadi memang benar-benar sibuk cak!” lanjut Kacung bersemangat.
“Oh… begitu, baguslah! aku kira sudah bosan nongkrong di warung” jawab cak Nayip santai.
“Lho koq bagus sih cak?” tanya Kacung merasa heran.
“Ya bagus tho, Itu ikhtiar, lumayan untuk menambah penghasilan. Itu rejeki Cung! itu berarti wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib, rejeki yang tidak disangka-sangka kedatangannya, he he he…”, lanjut cak Nayip sambil tertawa.
“Tapi aku kurang setuju cak dengan perilaku teman-teman kita itu. Setiap lima tahun koq kerjanya ganti-ganti partai, ganti-ganti dukungan, itu munafiq cak, munafiq!” tiba-tiba Bagong menyelah.
“Ya nggak boleh begitu Gong, itu syu’udzan,” sahut cak Nayip.
“Mereka belum tentu serius menjadi pendukung-pendukung koq, belum tentu gambar di kaos atau bajunya itu benar-benar representasi dari pilihan terakhirnya. Mereka sekedar mencari upah Gong, mendapatkan kaos atau baju, tidak lebih dari itu.
Baju kan tidak pernah memilih siapa yang mengenakan. Digunakan untuk maksud apa, apa agamanya dan siapa yang menjadi calon idola pemakainya. Itu tidak penting Gong, iya tho? lanjut cak Nayip serius.
“Sssttt… jangan bilang siapa-siapa ya, sebenarnya teman-teman kita itu hanya membantu orang-orang yang memang benar-benar “mencari baju” koq Gong,” cak Nayip menambahkan.
“Lho koq begitu, maksudmu bagaimana sih cak?” tanya Dumpal sambil menggaruk kepala.
“Teman-teman kita itu hanya mencari upah dan mencari baju yang sebulan dua bulan sudah lusuh, walaupun teman-teman menyadari bahwa dukung-mendukung yang dilakukan itu sama sekali tidak berpengaruh pada perubahan nasibnya.
Justru para calon-calon itu mencari “baju” lebih dari sekedar baju yang dikenakan di badan ini Dum! Baik baju kekayaan, baju jabatan, baju kekuasaan maupun baju-baju status sosial lain dengan berbagai macam atribut dan asesorisnya, yang sering dipercaya dapat mengangkat martabat seseorang di mata orang lain.” Jelas cak Nayip.
“Lalu, apakah tidak boleh mencari baju-baju kekayaan, jabatan atau kekuasaan yang menjadi impian hampir kebanyakan orang itu cak?” sahut Dumpal agak sedikit tegang.
“Aku nggak bilang seperti itu lho Dum!” bantah cak Nayip
“Agama kita tidak melarang memakai baju dengan warna dan model apa saja, asalkan sesuai dengan fungsi baju itu.
Termasuk baju dengan “merk sosial” apapun selama berfungsi sebagai “libastsu at-taqwa” (pakaian taqwa), dan dapat menambah kualitas hidup seseorang, adalah sah-sah saja.
Persoalan sesungguhnya bukan boleh atau tidak boleh Dum!, persoalannya adalah apakah kita mampu menempatkan “baju status sosial“ itu pada porsinya? atau jangan-jangan malah sebaliknya, justru kita semakin sombong dan jauh dari rahmat Allah.
Kamu ingat kisah orang yang bernama Sa’labah di jaman Rasulullah?“ Tanya cak Nayip.
“Sahabat Rasulullah bernama Sa’labah hanya memiliki satu-satunya baju. Yaitu baju yang ketika hendak shalat dipakai bergantian dengan istrinya. Namun, ketika suatu saat Allah berkenan memberi kesempatan sebagai orang kaya atas doa Rasulullah, dia lupa dengan bajunya. Awalnya hanya sering terlambat berjamaah ke masjid karena bergantian baju dengan istrinya. Tapi akhirnya sama sekali tidak pernah ke masjid. Bukan karena Sa’labah tidak mampu membeli baju, tapi karena perubahan baju “status sosial” itu yang membuat seorang Sa’labah menjadi lupa diri.
Disadari atau tidak, baju-baju status sosial itulah yang membuat seseorang “tampil beda” dan merasa paling hebat, sementara orang lain kadang-kadang dianggap remeh hanya karena tidak memiliki baju yang sama.”
“Ya ya ya … betul juga ya cak?” Dumpal manggut-manggut.
“Yang lebih parah lagi, kalau baju-baju itu dianggap segala-galanya. Maka tidak sedikit orang yang berbuat segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan keelokan bajunya. Bahkan pada akhirnya mereka kurang amanah, ingkar janji, dan terus menerus berbohong kepada yang pernah mendukung dengan sepenuh hati. Pokoknya mengecewakan Dum!” cak Nayip mencoba meyakinkan.
“Iya ya cak, padahal agama kita menyuruh agar memegang kuat amanah dari orang-orang yang menitipkan segala problematika kehidupannya untuk diperjuangkan,” komentar Dumpal.
“Betul Dum, seratus untuk Dumpal!” lanjut cak Nayip.
“Innallaha ya’murukum an tuaddul amaanaati ilaa ahlihaa, waidzaa hakamtum bainannaasa an tahkumuu bil ‘adl” sungguh Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
“Tentu masih segar dalam ingatan kita,” lanjut cak Nayip.
“Kasus tindak pidana korupsi oleh beberapa oknum pejabat yang menyebabkan kerugian negara milyaran rupiah, itu jelas-jelas termasuk tindakan orang-orang yang kurang amanah dalam menunaikan tugas dan sekaligus gagal memanfaatkan status sosialnya untuk kemaslahatan umat.
Tindakan kriminal, pelecehan seksual, sampai perbuatan asusila, juga merupakan potret kesombongan dari kehidupan sosial kita. Jika hal ini ditelusuri, sesungguhnya juga bermuara pada sikap berlebihan terhadap “baju” itu.
Mungkin mereka lupa, bahwa nabi pernah menyatakan; “Innallaha laa yandzuru ilaa ajsaamikum wala shawwaarikum walaakin yandzuru ilaa quluubikum wa a’maalikum”, sungguh Allah tidak menilai fisik dan atribut-atribut kemanusiaan seseorang, tetapi Allah menilai jiwa dan perilaku seseorang.”
“Ya ya ya…, Dumpal manggut-manggut lagi.
“Belum lagi kasus-kasus kekerasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang sejauh ini terjadi, itu merupakan bentuk lain dari fanatisme sempit terhadap baju-baju status sosial yang disikapi dengan kesombongan. Padahal sombong itu hanya milik Allah Dum, milik Allah! “al ’adzamatu izaarii, walkibriyaau radaaii, faman naara ‘annii fiihimaa, alqabtahu finnaar” kemegahan itu sarungKu, kesombongan adalah selendangKu, siapapun yang menarik salah satu dari keduanya, niscaya akan Aku lemparkan ke neraka.“ Tambah cak Nayip.
“Waduh… ngeri cak, ternyata semakin tinggi status sosial yang diraih, semakin besar tanggungjawab yang harus pikul.” kata Bagong.
“Ya iyalah, masak iya iya donk.“ sahut cak Nayip bercanda.
“Khilaf dan salah dalam menjalankan tugas itu memang bagian dari sifat manusia Gong, tapi bukan berarti boleh berbuat semaunya, berbuat tidak adil dan sewenang-wenang terhadap mereka yang tidak memiliki baju yang sama.
Sudah semestinya status sosial itu dipahami sebagai sebuah kenikmatan dan karunia dari Allah yang harus kita jaga dengan penuh amanah dan sekaligus menjadi cermin bersih kondisi jiwa dan perilaku kita.
Untuk itulah Rasulullah mengajarkan doa kepada kita; “Allahumma naqqinii minal khathaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minaddanas,” ya Allah bersihkanlah kesalahan-kesalahanku, sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran.
Artinya, puncak proses pembersihan kesalahan-kesalahan hidup manusia, harus berakhir pada kondisi bersih seperti pakaian putih. Ini juga berarti, apapun status sosial yang dikenakan dan dimiliki oleh manusia, jika tidak berpengaruh pada jiwa dan perubahan perilaku manusia menunju puncak ketertutupan “aurat perilaku-perilaku buruknya”, baik perilaku individu maupun perilaku sosialnya, manusia akan seperti “orang-orangan sawah”, tampak memakai baju tapi tidak berisi, hanya untuk menakut-nakuti.
“Hua ha ha… iso ae sampean cak!” teman-teman tertawa lebar
“Pepatah Arab menyatakan; “aqbil ‘ala nafsi wastakmil fadhaailaha, fa anta binnafsi laa biljism insaan”, hadapkan jiwamu dan sempurnakan keutamaannya, karena engkau disebut manusia bukan lantaran tubuhmu, tetapi lantaran jiwamu.
So, kecuali agama yang kita miliki dan kita yakini kebenaranya, milik manusia hanya sekedar “pakaian”. Berhasil tidaknya menghantarkan hidup manusia menuju kemuliaan, sangat tergantung pada pemakainya.”
“Sudahlah, aku pulang! Kita doakan semoga teman-teman yang mencari upah dan baju, serta mereka yang benar-benar “mencari baju” itu, senantiasa diridlai oleh Gusti Allah.” kata cak Nayip sambil berdiri.
“Lho, kopi belum dibayar cak!” sahut Dumpal
“Tolong dibayar Dum, utang sik, besuk aku ganti!”
“Tapi kalian harus ingat ya?” tambah cak Nayip sambil membalikkan badan.
“Sebenarnya dalam hati yang paling dalam, kadang-kadang kita merindukan kondisi “kembali” seperti anak-anak yang “yuuladu ‘ala fitri” tanpa embel-embel dan atribut-atribut sosial yang menjadikan manusia semakin sombong. Sekaligus memantapkan keyakinan; “Ya Allah, sungguh Engkau lebih menilai jiwa dan perilaku manusia daripada baju dan atribut-atribut kemanusiaan yang dibanggakan, sebab hakekat sang pemilik apapun di alam semesta ini hanyalah Engkau”.
Kalau tidak, aku kuatir rek, jangan-jangan seluruh baju kita dimasukkan kedalam surga, sementara kita tetap tinggal di neraka karena kehebatan menutupi jiwa dan perilaku-perilaku kita yang kotor, he he he…”
*) penulis adalah :
Staf Pengajar SMP – SMK Muhammadiyah Rogojampi – Banyuwangi
Koordinator Lembaga Seni dan Budaya PDM Banyuwangi
0 komentar:
Posting Komentar
KIRIM KOMENTAR ANDA DISINI